Suksesi barangkali adalah salah satu kata yang paling banyak
di ucapkan lima tahun belakangan ini. Sekadar mendapat gambaran, bawa suksesi
sebenarnya bukan masalah yang baru, dapat kita simak apa yang terjadi di lingkungan
Keraton-keraton Jawa, pada zaman Hindhu maupun zaman jaman Keislaman. Suksesi
pada masa itu terlekat pada intipati perekat terhadap pengangkatan Putra
Mahkota.
Adapun Putra Mahkota tersebut “Adipati Anom,” dalam
keyakinan Jawa bukan dipilih oleh suara terbanyak, melainkan oleh suara
penguasa tunggal, lewat “Sabda Pandhita Ratu” – sekali diucapkan, punya
kekuatan hukum; sekali diucapkan, punya kekuatan yang mustahil bocor keluar,
bila bukan Sang Raja (Sinuwun) sendiri yang mengucapkannya.
Karena bersandarkan Sabda tersebut, maka gatra jumenengan atau perwisudaan raja,
harus bersandarkan trigatra keutamaan, yakni:
·
Pertama, konsep Perwahyuan atau Wahyu-wahyu.
·
Kedua, berdasarkan pandangan Tan Anggege Mangsa (jangan sampai
mendahului mangsanya). Jangan sampai penungkapan nama tercium oleh orang-luar,
sementara raja belum resmi menyebutnya.
·
Ketiga adalah Satriya Sinangling, tokoh yang masih tersembunyi, jadi teka-teki.
Maka, wajar bila sosok pembebas dan penguasa baru akan jadi buah-cakap, karena
menurut strategi ini, tak boleh dibuat cerita yang riuh-rasak.
“Lenggetan”
Makna gatra Tan
Anggege Mangsa, sudah sering dibicarakan. Bahkan pada suatu keterangan pers
ketika mengumumkan pergantian Pangab 17 February lalu, tak kurang dari Jenderal
(Purn) Try Sutrisno – hari itu masih Pangab – juga menegaskan prinsip tersebut.
Penegasan ini dilakukan Try Sutrisno menjawab pertanyaan wartawan, apakah dia
bersedia menjadi Wakil Presiden sesuai dengan harapan fraksi-fraksi yang
mencalonkannya.
Tetapi dibalik Tan
Anggege Mangsa itu, perlu dihindarkan pula adanya Lenggetan atau lurwinayang, yaitu kepemimpinan yang
melebihi jangka waktu yang patut. Jadi suatu ganjalan pula dihati rakyat, kalau
maharaja bertakhta terlalu lama.
Adalah suatu hal yang unik, bahwa lantaran Panembahan
Senapati bertahta lebih dari jangka waktu yang disebutkan terdahulu (1570 –
1601), artinya menlanggar Sabda pandhita
ratu, maka terjadilah huru-hara yang
melibatkan orang-orang dalam istana, yang berakhir tragis.
Demikian pula Sultan Agung Anyarakusuma (1613 – 1645) yang
lebih 30 tahun berkuasa, tanpa menunjuk putra mahkota, timbulah perang wilayah.
Misalnya, perang di kalangan bupati-bupati pesisir, sampai akhirnya terjadi
kudeta halus. Padahal, Sultan Agung sendiri juga semula melakukan kudeta tak
berdarah melawan ayahandanya, Sunan Adiprabu Anyakrawati, yang baru satu
dasawarsa bertakhta. Ia memunculkan sosok “boneka” untuk mengacaukan
pemerintahan ayahandanya, yaitu Banteng Mataram, Jaka Umbaran, yang harus lebih
dulu melakukan kasak-kusuk istana.
Amangkurat I (1645-1677) cukup lama diatas singgasana,
kira-kira 32 tahun. Ini sesuai dengan konsep Jawa: Catur Windu (sewindu 8
tahun, jadi 32 tahun disebut empat windu). Relatif tenang, namun digerogoti
didalam, terutama oleh kaum ulama yang terkikis wibawanya. Ternyata,
pemberontakan datang dari kawasan pesisir timur, dengan tampilan Trunajaya,
satria Madura. Ini, makna tersirat dibalik kemapanan penguasa utama.
Barangkali ada sketsa menarik, tatkala Sunan Pakubuwono X
(1893-1939), salah seorang raja Kasunanan Surakarta atau dinasti Mataram yang
paling lama memerintah, sekitar 40
tahun. Demikian pula, sewaktu raja Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono
VII, yang memerintah sejak paruh kedua abad kesembilabelas hingga 1921, yang
dianggap kelewat lama, hingga terjadi krisis dalam istana.
Aneh, bahwa akhirnya raja harus pergi sebagai musafir di
Balekambang Ambarukmo (kini Hotel Ambarukmo), dan bertapa sebagai refleksi
tatacara mawiku (pasca kuasa, sebagai
pendeta) hingga akhir hayat. Yang jumeneng
justru yang semula tak terduga, yang kemudian jadi HB VIII.
Akan halnya di Surakarta Hadiningrat, sampai pada tahun 1930-an
timbul semacam ontran-ontran yang
menggelegak. Soalnya, ada dua calon, yakni Pangeran Hangabei (yang kurang
disukai ayahanda Sunan), dan Pangeran Kusumayuda (yang justru lebih dicintai
Sunan, tapi gagal meraih tahta). Ternyata muncul pihak ketiga, yakni kelompok
pergerakan nasional penyangga arus “Budi Utomo” yang jadi kelompok penekan (pressure group), yang masing-masing
menjagoi calon terkuat.
Akhirnya, terbukti dua-duanya adalah figur reformator yang
keras, dan nyaris tiada alternatif pada tahta pinilih. Maka, pemerintah Belanda yang akhirnya bertindak, dengan
memilih Hangabei, yang sampai pada masa itu menjadi stabilisator praja.
Dua raja dinasti Mataram tersebut melaksanakan Sabda
Pandhita Ratu, namun dengan suatu catatan, bahwa nilai spiritual yang
ditegaskan adalah selayaknya jadi “tukikan batin”.
Dinasti Mataram, secara hakiki menciptakan konsep strategi
dan kiat mengantisipasi alih-generasi raja-raja, dengan mematangkan “rasa
batin” yang murni, bukan sebagai perekayasaan murni dan politik.
Dibelakang singgasana
Fenomena lain yang menarik untuk disimak ialah fenomena
tokoh-tokoh dibelakang singgasana. Semasa Keraton Demak-Bintara Jaya, antara
1488-1530 tokoh itu adalah Patih Wanassalam, pendamping Sultan Syah Alam Akbar
I (R Patah), yang berlatar usahawan, kelas saudagar dipesisir utara. Agak
berbeda dengan umumnya wazir yang berkelas priyayi. Namun demikian, dialah yang
mampu menyusun strategi penakhlukan raja-raja Hindu dan penyatuan kembali
wilayah-wilayah eks Majapahit diluar Jawa, bahkan mengkonsolidasikan para Wali,
hingga seiya-sekata dalam menjunjung Sri Mahkota.
Hal semacam ini kiranya mendorong Sultan Agung
Anyakrakusuma, raja ketiga Mataram (1613-1645), untuk mengangkat Patih
Singaranu, sebagai wazir. Ia merupakan mantan panglima perang yang berlatar
ulama, namun juga kaya raya, lantaran dua generasinya adalah bupati-bupati di
Tuban, penyambung-tangan raja-raja Majapahit sebelumnya.
Upaya pengangkatan tersebut dapat dirunut sebagai rekayasa
yang njlimet, namun tepat. Artinya,
mantan senapati tentunya sangat berpengalaman dimedan perang yang membutuhkan
kedisiplinan. Sedangkan sebagai keturunan dinasti tua yang punya wibawa, ada
jaminan bahwa masyarakat tunduk kepadanya. Kemudian, latar ulama yang dimiliki,
menyebabkan salah satu pilar keagamaan (dalam hal ini: Islam!), dimana seorang
sentral figur adalah sesuatu yang kudu diabadikan, manakala kerajaan disebut
sebagai sumber kebijaksanaan dan wibawa.
Bagaimanapun juga, ini adalah contoh-contoh terkuat,
bagaimana pribadi menonjol yang diyakini “bisa mengubah dunia” menurut versi
penguasa setempat – dipilih, ditunjuk, terpanggil dan terseleksi dari sejumlah
alternatif. Pada dasarnya, nilai-nilai yang menonjol dalam penugasan
jabatan-jabatan diatas “sang pembantu terdekat raja” bisa disebut berhasil.
Sedangkan dukungan rakyat, kendatipun wigati,
bukan faktor terpenting. System demokrasi lampau memang bukan pada refleksi
suara-kehendak rakyat, melainkan bagaimana mengelola restu rakyat yang
bersandarkan denyut “dambaan rohani” mereka.
Masih dalam konteks pribadi dibalik tahta ini, lewat kajian
terhadap kultur Kajawen, kita dapat menyimak “Serat Centhini” yang merupakan
ensiklopedi Jawa yang lengkap, bahwa para raja mengemban “cara pilih yang
langsung, bebas, berkewibawaan”. Sedangkan, apa yang disebut pengaruh, umumnya
adalah dari para pujangga, ahli kebatinan dan kaum ulama berpengaruh.
Sebagai contoh, Amangkurat I di Mataram juga memiliki
penasehat spiritual, bernama Panembahan Raja Kajoran yang sakti. Sedangkan
Sunan Pakubuwono II, bersahabat baik dengan ulama dari Tegalsari Panaraga,
bernama Kyai Kasan Besari. Sosok ini juga berpengaruh terhadap pewarisan
singgasana. Hal ini sampai mendorong Sunan memilih hidup sebagai petani dengan
nama Ki Gedhe Mentawis, yang miskin dan alim.
Sedangkan pujangga Yosodipuro I-II adalah penasihat handal
dari Sunan Pakubuwono III – V, diteruskan oleh pujangga Ronggowarsito, yang
dianggap sebagai “sosok di balik singgasana” dari Sunan Pakubuwono VI-VIII, dan
kemudian justru kurang dipatuhi oleh para penggantinya. Tatkala beliau wafat
(1875), ternyata membawa luka membekas, yang menyebabkan lembaga kepujanggaan
dihapuskan.
Akhirnya, raja-raja di Solo dan Yogya memilih kaum
intelektual dari kalangan kampus dan umum, untuk menjadi pemberi bahan-bahan
masukan kepada praja adiluhung. Akan tetapi, apakah dalam hal ini juga termasuk
rekayasa suksesi yang modern, tak bisa diterangkan.
Harus disadari, dengan melihat ornament-ornamen yang tampil
sepanjang Babad Tanah Jawa, kita mencatat juga fenomena lain bahwa dengan
menghimpun orang-orang yang terkenal, maka kraton bakal punya landasan kuat.
Erlangga pada abad ke-10 mempunyai seorang sahabat, bernama Narotama, yang
sekaligus merupakan pengemban ketegaran dari singgasana Kahuripan. Raja Hayam
Wuruk di abad ke-14 mempunyai Mahapatih Gajah Mada yang ternyata dapat
memperkuat posisi kekuasaan maharaja. Panembahan Senapati pada abad ke-16
memiliki seorang wazir bernama Ki Jurumartani, yang senantiasa menggalang
potensi pendukung raja, sehingga kebesaran dinasti Mataram dapat terjaga
senantiasa.
Pribadi balik tahta adalah khas sejarah kerajaan-kerajaan
Jawa, yang menghendaki stabilitas dan harmoni sebagai loro-loroning atunggal, dua hal yang saling memperkuat, melengkapi,
meneguhkan.
Vibrasi kekuasaan diJawa – seperti diutarakan oleh ahli
kebudayaan Ki Ageng Suryomentaram pada 1928 dalam “Pitedahing Kautaman”
menekankan, bagaimana seorang Mahaprabu sebenarnya mengemban wahyu keprabon
untuk (hingga dengan demikian bisa dipandang utuh) dan bisa mengembalikan
wibawa dinasti bersangkutan.
Tanpa harus melihat sejauh mana kumandangnya langkah-tegas
penguasa dimaksud, kita bisa mengatakan, singgasana tak bisa dianggap dengan
sebelah mata. Artinya, peranan dari sang pemilik Wahyu tetap di atas segalanya.
Kita lihat dari dunia pewayangan, bagaimana Raden Abimanyu, putera Arjuna
memperoleh Wahyu Cakraningrat, sehingga dialah yang dipandang mampu menjadi
raja setelah perang.
Sayang, dalam Bharatayuda, dia gugur. Sang putera,
Parikesit, kemudian menjadi penyambung dinasti. Tidak berarti ia “dengan
sendirinya” menggenggam Wahyu Cakraningrat, melainkan dia hanya sebagai wadah
obor pewahyuan. Namun dia pun ditugasi oleh para pinisepuh untuk mencahari
wahyu berikutnya, yakni Wahyu Widayat dan Wahyu Maningrat, agar kokoh-tegar
meneruskan sejarah para Pandawa dan darah Bharata. Pencarian inilah yang selalu
berulang, setiap kali terjadi suksesi dalam era Mataram. **
[sumber : Suryanto Sastroatmojo (Wartawan Bernas)]