Senin, 06 Agustus 2012

Fenomena Suksesi dalam Kerajaan Mataram

Suksesi barangkali adalah salah satu kata yang paling banyak di ucapkan lima tahun belakangan ini. Sekadar mendapat gambaran, bawa suksesi sebenarnya bukan masalah yang baru, dapat kita simak apa yang terjadi di lingkungan Keraton-keraton Jawa, pada zaman Hindhu maupun zaman jaman Keislaman. Suksesi pada masa itu terlekat pada intipati perekat terhadap pengangkatan Putra Mahkota.
Adapun Putra Mahkota tersebut “Adipati Anom,” dalam keyakinan Jawa bukan dipilih oleh suara terbanyak, melainkan oleh suara penguasa tunggal, lewat “Sabda Pandhita Ratu” – sekali diucapkan, punya kekuatan hukum; sekali diucapkan, punya kekuatan yang mustahil bocor keluar, bila bukan Sang Raja (Sinuwun) sendiri yang mengucapkannya.
Karena bersandarkan Sabda tersebut, maka gatra jumenengan atau perwisudaan raja, harus bersandarkan trigatra keutamaan, yakni:
·         Pertama, konsep Perwahyuan atau Wahyu-wahyu.
·         Kedua, berdasarkan pandangan Tan Anggege Mangsa (jangan sampai mendahului mangsanya). Jangan sampai penungkapan nama tercium oleh orang-luar, sementara raja belum resmi menyebutnya.
·         Ketiga adalah Satriya Sinangling, tokoh yang masih tersembunyi, jadi teka-teki. Maka, wajar bila sosok pembebas dan penguasa baru akan jadi buah-cakap, karena menurut strategi ini, tak boleh dibuat cerita yang riuh-rasak.
“Lenggetan”
Makna gatra Tan Anggege Mangsa, sudah sering dibicarakan. Bahkan pada suatu keterangan pers ketika mengumumkan pergantian Pangab 17 February lalu, tak kurang dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno – hari itu masih Pangab – juga menegaskan prinsip tersebut. Penegasan ini dilakukan Try Sutrisno menjawab pertanyaan wartawan, apakah dia bersedia menjadi Wakil Presiden sesuai dengan harapan fraksi-fraksi yang mencalonkannya.
Tetapi dibalik Tan Anggege Mangsa itu, perlu dihindarkan pula adanya Lenggetan  atau  lurwinayang, yaitu kepemimpinan yang melebihi jangka waktu yang patut. Jadi suatu ganjalan pula dihati rakyat, kalau maharaja bertakhta terlalu lama.
Adalah suatu hal yang unik, bahwa lantaran Panembahan Senapati bertahta lebih dari jangka waktu yang disebutkan terdahulu (1570 – 1601), artinya menlanggar Sabda pandhita ratu,  maka terjadilah huru-hara yang melibatkan orang-orang dalam istana, yang berakhir tragis.
Demikian pula Sultan Agung Anyarakusuma (1613 – 1645) yang lebih 30 tahun berkuasa, tanpa menunjuk putra mahkota, timbulah perang wilayah. Misalnya, perang di kalangan bupati-bupati pesisir, sampai akhirnya terjadi kudeta halus. Padahal, Sultan Agung sendiri juga semula melakukan kudeta tak berdarah melawan ayahandanya, Sunan Adiprabu Anyakrawati, yang baru satu dasawarsa bertakhta. Ia memunculkan sosok “boneka” untuk mengacaukan pemerintahan ayahandanya, yaitu Banteng Mataram, Jaka Umbaran, yang harus lebih dulu melakukan kasak-kusuk istana.
Amangkurat I (1645-1677) cukup lama diatas singgasana, kira-kira 32 tahun. Ini sesuai dengan konsep Jawa: Catur Windu (sewindu 8 tahun, jadi 32 tahun disebut empat windu). Relatif tenang, namun digerogoti didalam, terutama oleh kaum ulama yang terkikis wibawanya. Ternyata, pemberontakan datang dari kawasan pesisir timur, dengan tampilan Trunajaya, satria Madura. Ini, makna tersirat dibalik kemapanan penguasa utama.
Barangkali ada sketsa menarik, tatkala Sunan Pakubuwono X (1893-1939), salah seorang raja Kasunanan Surakarta atau dinasti Mataram yang paling lama memerintah, sekitar  40 tahun. Demikian pula, sewaktu raja Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono VII, yang memerintah sejak paruh kedua abad kesembilabelas hingga 1921, yang dianggap kelewat lama, hingga terjadi krisis dalam istana.
Aneh, bahwa akhirnya raja harus pergi sebagai musafir di Balekambang Ambarukmo (kini Hotel Ambarukmo), dan bertapa sebagai refleksi tatacara mawiku (pasca kuasa, sebagai pendeta) hingga akhir hayat. Yang jumeneng justru yang semula tak terduga, yang kemudian jadi HB VIII.
Akan halnya di Surakarta Hadiningrat, sampai pada tahun 1930-an timbul semacam ontran-ontran yang menggelegak. Soalnya, ada dua calon, yakni Pangeran Hangabei (yang kurang disukai ayahanda Sunan), dan Pangeran Kusumayuda (yang justru lebih dicintai Sunan, tapi gagal meraih tahta). Ternyata muncul pihak ketiga, yakni kelompok pergerakan nasional penyangga arus “Budi Utomo” yang jadi kelompok penekan (pressure group), yang masing-masing menjagoi calon terkuat.
Akhirnya, terbukti dua-duanya adalah figur reformator yang keras, dan nyaris tiada alternatif pada tahta pinilih. Maka, pemerintah Belanda yang akhirnya bertindak, dengan memilih Hangabei, yang sampai pada masa itu menjadi stabilisator praja.
Dua raja dinasti Mataram tersebut melaksanakan Sabda Pandhita Ratu, namun dengan suatu catatan, bahwa nilai spiritual yang ditegaskan adalah selayaknya jadi “tukikan batin”.
Dinasti Mataram, secara hakiki menciptakan konsep strategi dan kiat mengantisipasi alih-generasi raja-raja, dengan mematangkan “rasa batin” yang murni, bukan sebagai perekayasaan murni dan politik.
Dibelakang singgasana
Fenomena lain yang menarik untuk disimak ialah fenomena tokoh-tokoh dibelakang singgasana. Semasa Keraton Demak-Bintara Jaya, antara 1488-1530 tokoh itu adalah Patih Wanassalam, pendamping Sultan Syah Alam Akbar I (R Patah), yang berlatar usahawan, kelas saudagar dipesisir utara. Agak berbeda dengan umumnya wazir yang berkelas priyayi. Namun demikian, dialah yang mampu menyusun strategi penakhlukan raja-raja Hindu dan penyatuan kembali wilayah-wilayah eks Majapahit diluar Jawa, bahkan mengkonsolidasikan para Wali, hingga seiya-sekata dalam menjunjung Sri Mahkota.
Hal semacam ini kiranya mendorong Sultan Agung Anyakrakusuma, raja ketiga Mataram (1613-1645), untuk mengangkat Patih Singaranu, sebagai wazir. Ia merupakan mantan panglima perang yang berlatar ulama, namun juga kaya raya, lantaran dua generasinya adalah bupati-bupati di Tuban, penyambung-tangan raja-raja Majapahit sebelumnya.
Upaya pengangkatan tersebut dapat dirunut sebagai rekayasa yang njlimet, namun tepat. Artinya, mantan senapati tentunya sangat berpengalaman dimedan perang yang membutuhkan kedisiplinan. Sedangkan sebagai keturunan dinasti tua yang punya wibawa, ada jaminan bahwa masyarakat tunduk kepadanya. Kemudian, latar ulama yang dimiliki, menyebabkan salah satu pilar keagamaan (dalam hal ini: Islam!), dimana seorang sentral figur adalah sesuatu yang kudu diabadikan, manakala kerajaan disebut sebagai sumber kebijaksanaan dan wibawa.
Bagaimanapun juga, ini adalah contoh-contoh terkuat, bagaimana pribadi menonjol yang diyakini “bisa mengubah dunia” menurut versi penguasa setempat – dipilih, ditunjuk, terpanggil dan terseleksi dari sejumlah alternatif. Pada dasarnya, nilai-nilai yang menonjol dalam penugasan jabatan-jabatan diatas “sang pembantu terdekat raja” bisa disebut berhasil. Sedangkan dukungan rakyat, kendatipun wigati, bukan faktor terpenting. System demokrasi lampau memang bukan pada refleksi suara-kehendak rakyat, melainkan bagaimana mengelola restu rakyat yang bersandarkan denyut “dambaan rohani” mereka.
Masih dalam konteks pribadi dibalik tahta ini, lewat kajian terhadap kultur Kajawen, kita dapat menyimak “Serat Centhini” yang merupakan ensiklopedi Jawa yang lengkap, bahwa para raja mengemban “cara pilih yang langsung, bebas, berkewibawaan”. Sedangkan, apa yang disebut pengaruh, umumnya adalah dari para pujangga, ahli kebatinan dan kaum ulama berpengaruh.
Sebagai contoh, Amangkurat I di Mataram juga memiliki penasehat spiritual, bernama Panembahan Raja Kajoran yang sakti. Sedangkan Sunan Pakubuwono II, bersahabat baik dengan ulama dari Tegalsari Panaraga, bernama Kyai Kasan Besari. Sosok ini juga berpengaruh terhadap pewarisan singgasana. Hal ini sampai mendorong Sunan memilih hidup sebagai petani dengan nama Ki Gedhe Mentawis, yang miskin dan alim.
Sedangkan pujangga Yosodipuro I-II adalah penasihat handal dari Sunan Pakubuwono III – V, diteruskan oleh pujangga Ronggowarsito, yang dianggap sebagai “sosok di balik singgasana” dari Sunan Pakubuwono VI-VIII, dan kemudian justru kurang dipatuhi oleh para penggantinya. Tatkala beliau wafat (1875), ternyata membawa luka membekas, yang menyebabkan lembaga kepujanggaan dihapuskan.
Akhirnya, raja-raja di Solo dan Yogya memilih kaum intelektual dari kalangan kampus dan umum, untuk menjadi pemberi bahan-bahan masukan kepada praja adiluhung. Akan tetapi, apakah dalam hal ini juga termasuk rekayasa suksesi yang modern, tak bisa diterangkan.
Harus disadari, dengan melihat ornament-ornamen yang tampil sepanjang Babad Tanah Jawa, kita mencatat juga fenomena lain bahwa dengan menghimpun orang-orang yang terkenal, maka kraton bakal punya landasan kuat. Erlangga pada abad ke-10 mempunyai seorang sahabat, bernama Narotama, yang sekaligus merupakan pengemban ketegaran dari singgasana Kahuripan. Raja Hayam Wuruk di abad ke-14 mempunyai Mahapatih Gajah Mada yang ternyata dapat memperkuat posisi kekuasaan maharaja. Panembahan Senapati pada abad ke-16 memiliki seorang wazir bernama Ki Jurumartani, yang senantiasa menggalang potensi pendukung raja, sehingga kebesaran dinasti Mataram dapat terjaga senantiasa.
Pribadi balik tahta adalah khas sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, yang menghendaki stabilitas dan harmoni sebagai loro-loroning atunggal, dua hal yang saling memperkuat, melengkapi, meneguhkan.
Vibrasi kekuasaan diJawa – seperti diutarakan oleh ahli kebudayaan Ki Ageng Suryomentaram pada 1928 dalam “Pitedahing Kautaman” menekankan, bagaimana seorang Mahaprabu sebenarnya mengemban wahyu keprabon untuk (hingga dengan demikian bisa dipandang utuh) dan bisa mengembalikan wibawa dinasti bersangkutan.
Tanpa harus melihat sejauh mana kumandangnya langkah-tegas penguasa dimaksud, kita bisa mengatakan, singgasana tak bisa dianggap dengan sebelah mata. Artinya, peranan dari sang pemilik Wahyu tetap di atas segalanya. Kita lihat dari dunia pewayangan, bagaimana Raden Abimanyu, putera Arjuna memperoleh Wahyu Cakraningrat, sehingga dialah yang dipandang mampu menjadi raja setelah perang.
Sayang, dalam Bharatayuda, dia gugur. Sang putera, Parikesit, kemudian menjadi penyambung dinasti. Tidak berarti ia “dengan sendirinya” menggenggam Wahyu Cakraningrat, melainkan dia hanya sebagai wadah obor pewahyuan. Namun dia pun ditugasi oleh para pinisepuh untuk mencahari wahyu berikutnya, yakni Wahyu Widayat dan Wahyu Maningrat, agar kokoh-tegar meneruskan sejarah para Pandawa dan darah Bharata. Pencarian inilah yang selalu berulang, setiap kali terjadi suksesi dalam era Mataram. **
[sumber : Suryanto Sastroatmojo (Wartawan Bernas)]