Senin, 06 Agustus 2012

Fenomena Suksesi dalam Kerajaan Mataram

Suksesi barangkali adalah salah satu kata yang paling banyak di ucapkan lima tahun belakangan ini. Sekadar mendapat gambaran, bawa suksesi sebenarnya bukan masalah yang baru, dapat kita simak apa yang terjadi di lingkungan Keraton-keraton Jawa, pada zaman Hindhu maupun zaman jaman Keislaman. Suksesi pada masa itu terlekat pada intipati perekat terhadap pengangkatan Putra Mahkota.
Adapun Putra Mahkota tersebut “Adipati Anom,” dalam keyakinan Jawa bukan dipilih oleh suara terbanyak, melainkan oleh suara penguasa tunggal, lewat “Sabda Pandhita Ratu” – sekali diucapkan, punya kekuatan hukum; sekali diucapkan, punya kekuatan yang mustahil bocor keluar, bila bukan Sang Raja (Sinuwun) sendiri yang mengucapkannya.
Karena bersandarkan Sabda tersebut, maka gatra jumenengan atau perwisudaan raja, harus bersandarkan trigatra keutamaan, yakni:
·         Pertama, konsep Perwahyuan atau Wahyu-wahyu.
·         Kedua, berdasarkan pandangan Tan Anggege Mangsa (jangan sampai mendahului mangsanya). Jangan sampai penungkapan nama tercium oleh orang-luar, sementara raja belum resmi menyebutnya.
·         Ketiga adalah Satriya Sinangling, tokoh yang masih tersembunyi, jadi teka-teki. Maka, wajar bila sosok pembebas dan penguasa baru akan jadi buah-cakap, karena menurut strategi ini, tak boleh dibuat cerita yang riuh-rasak.
“Lenggetan”
Makna gatra Tan Anggege Mangsa, sudah sering dibicarakan. Bahkan pada suatu keterangan pers ketika mengumumkan pergantian Pangab 17 February lalu, tak kurang dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno – hari itu masih Pangab – juga menegaskan prinsip tersebut. Penegasan ini dilakukan Try Sutrisno menjawab pertanyaan wartawan, apakah dia bersedia menjadi Wakil Presiden sesuai dengan harapan fraksi-fraksi yang mencalonkannya.
Tetapi dibalik Tan Anggege Mangsa itu, perlu dihindarkan pula adanya Lenggetan  atau  lurwinayang, yaitu kepemimpinan yang melebihi jangka waktu yang patut. Jadi suatu ganjalan pula dihati rakyat, kalau maharaja bertakhta terlalu lama.
Adalah suatu hal yang unik, bahwa lantaran Panembahan Senapati bertahta lebih dari jangka waktu yang disebutkan terdahulu (1570 – 1601), artinya menlanggar Sabda pandhita ratu,  maka terjadilah huru-hara yang melibatkan orang-orang dalam istana, yang berakhir tragis.
Demikian pula Sultan Agung Anyarakusuma (1613 – 1645) yang lebih 30 tahun berkuasa, tanpa menunjuk putra mahkota, timbulah perang wilayah. Misalnya, perang di kalangan bupati-bupati pesisir, sampai akhirnya terjadi kudeta halus. Padahal, Sultan Agung sendiri juga semula melakukan kudeta tak berdarah melawan ayahandanya, Sunan Adiprabu Anyakrawati, yang baru satu dasawarsa bertakhta. Ia memunculkan sosok “boneka” untuk mengacaukan pemerintahan ayahandanya, yaitu Banteng Mataram, Jaka Umbaran, yang harus lebih dulu melakukan kasak-kusuk istana.
Amangkurat I (1645-1677) cukup lama diatas singgasana, kira-kira 32 tahun. Ini sesuai dengan konsep Jawa: Catur Windu (sewindu 8 tahun, jadi 32 tahun disebut empat windu). Relatif tenang, namun digerogoti didalam, terutama oleh kaum ulama yang terkikis wibawanya. Ternyata, pemberontakan datang dari kawasan pesisir timur, dengan tampilan Trunajaya, satria Madura. Ini, makna tersirat dibalik kemapanan penguasa utama.
Barangkali ada sketsa menarik, tatkala Sunan Pakubuwono X (1893-1939), salah seorang raja Kasunanan Surakarta atau dinasti Mataram yang paling lama memerintah, sekitar  40 tahun. Demikian pula, sewaktu raja Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono VII, yang memerintah sejak paruh kedua abad kesembilabelas hingga 1921, yang dianggap kelewat lama, hingga terjadi krisis dalam istana.
Aneh, bahwa akhirnya raja harus pergi sebagai musafir di Balekambang Ambarukmo (kini Hotel Ambarukmo), dan bertapa sebagai refleksi tatacara mawiku (pasca kuasa, sebagai pendeta) hingga akhir hayat. Yang jumeneng justru yang semula tak terduga, yang kemudian jadi HB VIII.
Akan halnya di Surakarta Hadiningrat, sampai pada tahun 1930-an timbul semacam ontran-ontran yang menggelegak. Soalnya, ada dua calon, yakni Pangeran Hangabei (yang kurang disukai ayahanda Sunan), dan Pangeran Kusumayuda (yang justru lebih dicintai Sunan, tapi gagal meraih tahta). Ternyata muncul pihak ketiga, yakni kelompok pergerakan nasional penyangga arus “Budi Utomo” yang jadi kelompok penekan (pressure group), yang masing-masing menjagoi calon terkuat.
Akhirnya, terbukti dua-duanya adalah figur reformator yang keras, dan nyaris tiada alternatif pada tahta pinilih. Maka, pemerintah Belanda yang akhirnya bertindak, dengan memilih Hangabei, yang sampai pada masa itu menjadi stabilisator praja.
Dua raja dinasti Mataram tersebut melaksanakan Sabda Pandhita Ratu, namun dengan suatu catatan, bahwa nilai spiritual yang ditegaskan adalah selayaknya jadi “tukikan batin”.
Dinasti Mataram, secara hakiki menciptakan konsep strategi dan kiat mengantisipasi alih-generasi raja-raja, dengan mematangkan “rasa batin” yang murni, bukan sebagai perekayasaan murni dan politik.
Dibelakang singgasana
Fenomena lain yang menarik untuk disimak ialah fenomena tokoh-tokoh dibelakang singgasana. Semasa Keraton Demak-Bintara Jaya, antara 1488-1530 tokoh itu adalah Patih Wanassalam, pendamping Sultan Syah Alam Akbar I (R Patah), yang berlatar usahawan, kelas saudagar dipesisir utara. Agak berbeda dengan umumnya wazir yang berkelas priyayi. Namun demikian, dialah yang mampu menyusun strategi penakhlukan raja-raja Hindu dan penyatuan kembali wilayah-wilayah eks Majapahit diluar Jawa, bahkan mengkonsolidasikan para Wali, hingga seiya-sekata dalam menjunjung Sri Mahkota.
Hal semacam ini kiranya mendorong Sultan Agung Anyakrakusuma, raja ketiga Mataram (1613-1645), untuk mengangkat Patih Singaranu, sebagai wazir. Ia merupakan mantan panglima perang yang berlatar ulama, namun juga kaya raya, lantaran dua generasinya adalah bupati-bupati di Tuban, penyambung-tangan raja-raja Majapahit sebelumnya.
Upaya pengangkatan tersebut dapat dirunut sebagai rekayasa yang njlimet, namun tepat. Artinya, mantan senapati tentunya sangat berpengalaman dimedan perang yang membutuhkan kedisiplinan. Sedangkan sebagai keturunan dinasti tua yang punya wibawa, ada jaminan bahwa masyarakat tunduk kepadanya. Kemudian, latar ulama yang dimiliki, menyebabkan salah satu pilar keagamaan (dalam hal ini: Islam!), dimana seorang sentral figur adalah sesuatu yang kudu diabadikan, manakala kerajaan disebut sebagai sumber kebijaksanaan dan wibawa.
Bagaimanapun juga, ini adalah contoh-contoh terkuat, bagaimana pribadi menonjol yang diyakini “bisa mengubah dunia” menurut versi penguasa setempat – dipilih, ditunjuk, terpanggil dan terseleksi dari sejumlah alternatif. Pada dasarnya, nilai-nilai yang menonjol dalam penugasan jabatan-jabatan diatas “sang pembantu terdekat raja” bisa disebut berhasil. Sedangkan dukungan rakyat, kendatipun wigati, bukan faktor terpenting. System demokrasi lampau memang bukan pada refleksi suara-kehendak rakyat, melainkan bagaimana mengelola restu rakyat yang bersandarkan denyut “dambaan rohani” mereka.
Masih dalam konteks pribadi dibalik tahta ini, lewat kajian terhadap kultur Kajawen, kita dapat menyimak “Serat Centhini” yang merupakan ensiklopedi Jawa yang lengkap, bahwa para raja mengemban “cara pilih yang langsung, bebas, berkewibawaan”. Sedangkan, apa yang disebut pengaruh, umumnya adalah dari para pujangga, ahli kebatinan dan kaum ulama berpengaruh.
Sebagai contoh, Amangkurat I di Mataram juga memiliki penasehat spiritual, bernama Panembahan Raja Kajoran yang sakti. Sedangkan Sunan Pakubuwono II, bersahabat baik dengan ulama dari Tegalsari Panaraga, bernama Kyai Kasan Besari. Sosok ini juga berpengaruh terhadap pewarisan singgasana. Hal ini sampai mendorong Sunan memilih hidup sebagai petani dengan nama Ki Gedhe Mentawis, yang miskin dan alim.
Sedangkan pujangga Yosodipuro I-II adalah penasihat handal dari Sunan Pakubuwono III – V, diteruskan oleh pujangga Ronggowarsito, yang dianggap sebagai “sosok di balik singgasana” dari Sunan Pakubuwono VI-VIII, dan kemudian justru kurang dipatuhi oleh para penggantinya. Tatkala beliau wafat (1875), ternyata membawa luka membekas, yang menyebabkan lembaga kepujanggaan dihapuskan.
Akhirnya, raja-raja di Solo dan Yogya memilih kaum intelektual dari kalangan kampus dan umum, untuk menjadi pemberi bahan-bahan masukan kepada praja adiluhung. Akan tetapi, apakah dalam hal ini juga termasuk rekayasa suksesi yang modern, tak bisa diterangkan.
Harus disadari, dengan melihat ornament-ornamen yang tampil sepanjang Babad Tanah Jawa, kita mencatat juga fenomena lain bahwa dengan menghimpun orang-orang yang terkenal, maka kraton bakal punya landasan kuat. Erlangga pada abad ke-10 mempunyai seorang sahabat, bernama Narotama, yang sekaligus merupakan pengemban ketegaran dari singgasana Kahuripan. Raja Hayam Wuruk di abad ke-14 mempunyai Mahapatih Gajah Mada yang ternyata dapat memperkuat posisi kekuasaan maharaja. Panembahan Senapati pada abad ke-16 memiliki seorang wazir bernama Ki Jurumartani, yang senantiasa menggalang potensi pendukung raja, sehingga kebesaran dinasti Mataram dapat terjaga senantiasa.
Pribadi balik tahta adalah khas sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, yang menghendaki stabilitas dan harmoni sebagai loro-loroning atunggal, dua hal yang saling memperkuat, melengkapi, meneguhkan.
Vibrasi kekuasaan diJawa – seperti diutarakan oleh ahli kebudayaan Ki Ageng Suryomentaram pada 1928 dalam “Pitedahing Kautaman” menekankan, bagaimana seorang Mahaprabu sebenarnya mengemban wahyu keprabon untuk (hingga dengan demikian bisa dipandang utuh) dan bisa mengembalikan wibawa dinasti bersangkutan.
Tanpa harus melihat sejauh mana kumandangnya langkah-tegas penguasa dimaksud, kita bisa mengatakan, singgasana tak bisa dianggap dengan sebelah mata. Artinya, peranan dari sang pemilik Wahyu tetap di atas segalanya. Kita lihat dari dunia pewayangan, bagaimana Raden Abimanyu, putera Arjuna memperoleh Wahyu Cakraningrat, sehingga dialah yang dipandang mampu menjadi raja setelah perang.
Sayang, dalam Bharatayuda, dia gugur. Sang putera, Parikesit, kemudian menjadi penyambung dinasti. Tidak berarti ia “dengan sendirinya” menggenggam Wahyu Cakraningrat, melainkan dia hanya sebagai wadah obor pewahyuan. Namun dia pun ditugasi oleh para pinisepuh untuk mencahari wahyu berikutnya, yakni Wahyu Widayat dan Wahyu Maningrat, agar kokoh-tegar meneruskan sejarah para Pandawa dan darah Bharata. Pencarian inilah yang selalu berulang, setiap kali terjadi suksesi dalam era Mataram. **
[sumber : Suryanto Sastroatmojo (Wartawan Bernas)]

Jumat, 27 Juli 2012

Galery Foto & Kegiatan

Bpk Ibu Herqutanto dan Bpk Ibu KPHH Anglingkusumo

HUT ke 64



Meyerahkan wayang kulit dalam rangkaian Khoul Sri Paku Alam


Bersama Raja Raja Nusantara

Dengan Istri Tercinta


Add caption

Ramanda Sri Pakualam VIII al Haj bersama Cucu

Bersama Sultan Baharuddin S.Ag.& Permaisuri

Masjidil Aqsa

Ramanda Sri Pakualam VIII al Haj

acara Pembukaan hotel di Borobudur

bersama bu Yani Sapto dan pak Trans Toto

di istana Bagas Godang Tapanuli bersama KGPH Hadiwinoto dan GBPH Prabukusumo

di paseban Girigondo dgn DPC Tiarakusuma K.Progo

Raja Bone & Sulawesi

tempat wudhu di Masjidil Aqsa

upacara adat di Kutai Barat

Karya Foto Romo Angling















Foto Masa Muda Romo Angling

Bercita-cita masuk AKMIL tapi ga kesampaian

Senapan kesayangan




Bersama Istri tercinta saat HUT Ibu

Sebagai Atlit Menembak

Tahun 1965















PROSPEK DAN PERAN ILMU ADMINISTRASI


Oleh : KPH. H. Anglingkusumo

                                                                                   
I.            PENDAHULUAN
Saat ini kata reformasi adalah salah satu kata yang sedang populer dan menjadi sanjungan setiap insan Indonesia dalam segala hal, baik untuk diucapkan, tuntutan pelaksanaan maupun perubahan / penyempurnaan sistem. Kepopuleran kata tersebut muncul sejak berakhirnya pemerintahan orde baru dibawah pemerintahan Bapak Suharto dan diserahkan kepada Bapak habibie dengan dibentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan. Sehingga eranyapun disebut era reformasi. Menurut K. SINDHUNATA (1) reformasi di Indonesia yang lebih bersifat evolusi daripada revolusi mempunyai gerakan yang ingin mengembalikan nilai-nilai murni cita-cita  revolusi kemerdekaan 45 tentang demokrasi dan hak-hak azasi manusia yang universal. Sewaktu orde baru diproklamirkan tahun 1966 maka cita-cita yang dirumuskan waktu itu adalah melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Dalam proses perjalanan orde baru selama 32 tahun ternyata hal tersebut tidak terjadi, justru jauh menyimpang sebagai akibat kebijaksanaan akselerasi  dan fokus pembangunan ekonomi. Fokus dan akselerasi ini telah menyimpang nilai yang dicita-citakan para pendiri Republik kita ini.
Penyimpangan kebijaksanaan akselerasi tidak lepas dari suatu proses dan sistem administrasi yang merupakan bagian dari ilmu administrasi. Oleh karena itu di era reformasi ini peran ilmu administrasi tetap mempunyai peranan yang sangat penting dalam segala hal, baik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara maupun gerak dinamika masyarakat itu sendiri. Peran ini akan lebih diperkuat dengan adanya pendapat dari CHARLES A. BEARD dan JAMES BURNHARM yang analisa kesimpulannya adalah sbb : “ Tegak rubuhnya suatu negara dan maju mundurnya peradaban manusia serta timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di dunia tidak dikarenakan perang nuklir atau malapetaka akan tetapi tergantung pada baik buruknya administrasi” Hal ini terbukti pada negara-negara jepang, korea dan keempat macan Asia lainnya.
Reformasi yang mempunyai arti yang cukup sederhana tetapi maknanya dalam menurut SELO SUMARDJAN(2) yaitu “ penataan kembali” yang dijabarkan sebagai perbaikan sesuatu hal yang belum baik dan membiarkan hal-hal lain yang sudah baik, perlu dipahami dan dicermati prosesnya. Dengan adanya proses perbaikan ini, ilmu administrasi mempunyai prospek didalam tata laksana perbaikan tersebut. Dari pertimbangan-pertimbangan hal diatas dan sejalan dengan pendapat CHARLES A BEARD lainnya yang mengatakan “ tidak ada satu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi “ maka kami mencoba menyampaikan suatu makalah yang diberi judul “ PROSPEK DAN PERAN ILMU ADMINISTRASI DALAM ERA REFORMASI “
Makalah ini diuraikan dalam beberapa bab, yaitu : Pendahuluan, Ilmu Administrasi dan Manajemen, Tugas dan Fungsi Administrasi di era orde baru dan era reformasi, penyalahgunaan Administrasi negara dan penutup.
II.         ILMU ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN
Administrasi  didefinisikan sebagai “ keseluruhan proses kerja sama antara dua manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya(3) dari definisi tersebut ada beberapa hal yang terkandung:
-          Administrasi sebagai seni
-          Administrasi mempunyai unsur-unsur : manusia, tujuan, tugas peralatan dan waktu
-          Administrasi sebagai proses
Dari ketiga hal tersebut ternyata muncul suatu obyek yang memiliki metode analisa, sistematika, dalil-dalil dan rumus-rumus (berkembang mulai tahun 1886) dan berkembang menjadi Ilmu Administrasi. Dan kemudian berkembang lagi menjadi administrasi negara dan administrasi niaga.
Manajemen dapat didefinisikan sebagai “kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain” (3). Dengan demikian manajemen adalah inti administrasi.
Administrasi yang kegiatannya tidak dapat dipisahkan dengan manajemen, tugas utamanya adalah :
  1. Menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dipakai (organizational goal)
  2. Menentukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh organisasi (general and overall policies)
Prof. Sondang P. Siagian (3) sebagai seorang ahli ilmu administrasi mengatakan bahwa fungsi-fungsi administrasi dan manajemen adalah :
  1. Planning (perencanaan)
  2. Organizing (pengorganisasian)
  3. Motivating (pemberian motivasi)
  4. Controlling (pengawasan)
  5. Evaluating (penilaian)
Dari 2 hal tentang tugas dan fungsi administrasi, maka dapat ditelaah di era orde baru apakah kedua hal tersebut sudah dijalankan dengan benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu administrasi atau belum dan bagaimana prospek dan perannya di era reformasi saat ini. Memang bukan hal yang mudah untuk mengoreksi kedua hal tersebut di era orde baru, karena belum terbukanya semua informasi dan masih minimnya waktu pergantian dari era orde baru menjadi era reformasi ini dan belum adanya hal-hal yang baku tentang reformasi itu sendiri. Detik demi detik, menit demi menit dan hari demi hari istilah reformasi dan segala sepak terjangnya selalu berubah. Tetapi kalau kita berpegang pada K. SINDHUNATA (1) dan SELO SUMARDJAN (2) diatas, kita sedikit mempunyai pijakan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sehingga untuk mengulas tugas dan fungsi administrasi di era reformasi ini dapat dibenarkan.
Untuk mengulas peran dan prospek ilmu administrasi tentunya tidak cukup hanya dipandang dari tugas dan fungsi administrasi saja, tetapi karena keterbatasan waktu dan kami lebih sempitkan ruang lingkupnya, maka hal-hal lain yang dipandang perlu seperti : organisasi, lingkungan dalam administrasi, perkembangan ilmu administrasi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya tidak diulas dalam makalah ini. Selain itu, ilmu administrasi yang demikian luasnya seperti adanya : administrasi niaga beserta sub-subnya dan administrasi negara beserta sub-subnya, kami mencoba untuk mengulasnya lebih disempitkan dengan lebih menjurus pada administrasi negara.
III.     TUGAS DAN FUNGSI ADMINISTRASI DI ERA ORDE BARU DAN DI ERA REFORMASI
Seperti yang telah disebutkan didepan bahwa sewaktu orde baru diproklamirkan itu salah satu cita-citanya adalah dengan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen akan tercipta masyarakat adil dan makmur. Hal ini menurut TIM LAN (4) hal ini sejalan dengan tugas administrasi di dalam menentukan tujuan menyeluruh (terutama administrasi negara) sebagai penjabaran Pancasila dan UUD 1945 merupakan piranti dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan nasional. Di era reformasi inipun, nampaknya tidak akan banyak berubah. Administrasi tetap mempunyai tujuan yang sama dengan cita-cita di atas, hanya mungkin yang sedikit masih dalam pertanyaan adalah landasan idiil dan landasan konstitusionalnya (tergantung dari arah dan perjalanan reformasi dimasa-masa kini dan yang akan datang). Sedangkan tugas yang lain yang menyangkut penentuan kebijakan, mungkin perlu ada sedikit perubahan. Misalnya dengan sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, sistem pemilihan pemimpin di daerah  yang tidak perlu mendapat campur tangan dari pusat yang terlalu jauh atau proses pemilihan pimpinan ditingkat pusat perlu dilaksanakan dengan cara-cara yang lebih jujur dan adil. Di era reformasi ini, yang paling penting dari semua penentuan kebijakan ini adalah transparansi dan jauh dari niat-niat mementingkan diri sendiri atau golongan.
Adapun fungsi-fungsi administrasi dan manajemen di era reformasi ini dapat mengacu pada pendapat SELO SUMARDJAN (2) sehingga fungsi-fungsi yang kurang baik perlu diperbaiki dan fungsi-fungsi yang sudah baik masih dapat dilanjutkan. Dengan mengacu definisi dari SONDANG P. SIAGIAN (3) uraian dari fungsi-fungsi tersebut adalah sbb :
1.      Planning (perencanaan)
Planning dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan yang meliputi administrative planning dan managerial planning. Dari definisi tersebut ternyata planning itu juga merupakan suatu keputusan. Di era yang diharapkan menjadi era transparansi, maka segala hal yang berhubungan dengan perencanaan dan yang menyangkut kepentingan publik, diupayakan untuk lebih terbuka dan yang penting pula agar “What, Where, When, How, Who dan Why” dari rencana tersebut didudukan pada posisi yang benar. Sehingga masyarakat lebih dapat ikut berperan dan pengambil keputusan dapat menjadi lebih hati-hati dan waspada. Akhirnya rencana tersebut dapat tercapai dengan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
2.      Organizing (Pengorganisasian)
Fungsi organik administrasi dan manajemen ialah keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa pengorganisasian merupakan langkah awal dari proses pelaksanaan dan sebagai fungsi organik administrasi menjadi sangat penting. Di era reformasi ini ciri-ciri organisasi dari ilmu administrasi tentunya tidak akan banyak mengalami perubahan, misalnya : terdapat tujuan yang jelas, adanya kesatuan arah dan perintah, penempatan orang yang sesuai dengan keahliannya, dsb. Tetapi apakah ciri-ciri tersebut dalam era orde baru telah dilaksanakan dengan benar? Oleh karena itu di era pasca reformasi ditelaah satu persatu ciri-ciri tersebut. Apakah sudah benar adanya pembagian tugas yang telah memanifestasikan kemampuan manusianya, apakah sudah ditempatkan pada posisi yang sebenarnya atau apakah dalil “The right man in the right place” sudah dilaksanakan sesuai dengan porsinya. Tetapi dari kedua hal tersebut yang paling penting adalah jangan sampai terjadi penumpukan kekuasaan pada satu tangan atau kelompok/golongan. Hal ini yang perlu dicermati dalam organisasi adalah cara-cara pergantian kepemimpinan, yaitu perlunya dilaksanakan secara berkesinambungan. Baik program-programnya maupun pelaksanaan organisasi itu sendiri. Sehingga jika terjadi pergantian pemimpin, tentunya pemimpin yang baru perlu mempelajari program-program pemimpin yang lama. Program atau manajemen dari pemimpin  yang lama jika kurang baik, maka pemimpin yang baru perlu melanjutkannya. Agar tidak sia-sia hasil kerja pemimpin yang lama. Hal ini sesuai dengan manfaat ilmu administrasi itu sendiri yaitu agar hasil kerja administrasi itu dapat efektif dan efisien. Serta sejalan dengan jiwa reformasi menurut SELO SUMARDJAN (2). Sejalan dengan kesinambungan organisasi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat meninggalkan sesuatu hal yang dapat menopang kesinambungan organisasinya, walaupun dirinya kelak sudah tidak berada dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini termasuk segi finansiilnya. Kalau dalam istilah moneternya adalah dapat meninggalkan saldo yang cukup untuk kerja kepengurusan yang baru.
3.      Motivating (penggerakan)
Penggerakan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi terciptanya tujuan organisasi. Pemberian motif ini menyangkut kebijakan manusia sebagai obyek. Oleh karena itu selagi menyangkut manusia, keadilan harus diletakkan pada posisi paling atas. Sebab dengan keadilan yang benar-benar diciptakan oleh pengambil kebijakan, organisasi akan berjalan dengan lancar seperti dalam pepatah kita yang mengatakan bahwa ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Di era pasca reformasi ini kalau perlu pimpinan tidak hanya sekedar memberi motivasi secara lisan, tetapi lebih penting kalau diberikan juga dalam bentuk tindakan atau contoh dengan sendirinya contoh yang dapat dijadikan panutan. Karena keteladanan memegang peranan yang sangat menentukan dalam salah satu aspek kepemimpinan (sebagai penggerak) atau motivator. Sebagaimana pula telah tersurat dan tersirat dalam Pancasila bahwa seorang pimpinan harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun dan membimbing asuhannya atau yang biasa disebut “TUTWURI HANDAYANI” dan selalu sinkron antara ucapan dengan tindak tanduknya (satu-satunya kata dan perbuatan) dan bukan (esuk dele sore tempe).
Penonjolan sikap dan tindak tanduk seorang pemimpin baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial akan mencerminkan nilai-nilai moral dan memberikan pengaruh yang sangat besar kepada bawahan (karyawannya).
4.      Controling (Pengawasan)
Pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dari definisi tersebut dapat dicurigai bahwa rencana tanpa pengawasan akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan atau penyelewengan-penyelewengan yang serius tanpa ada alat untuk mencegahnya. Akibatnya tidak tercapainya tujuan yang telah ditentukan atau jika tercapaipun akan memunculkan pengorbanan-pengorbanan dan pemborosan yang tidak perlu. Di era orde baru point 4 inilah yang menjadi sumber ketidakberesan dalam segala hal yang dikarenakan adanya budaya takut, budaya “ewuh pekewuh” dan budaya kekerabatan serta budaya ABS (asal bapak senang) kini sudah saatnya harus berani membela yang benar bukan membela yang bayar. Oleh karena itu mulai sekarang budaya-budaya penghambat proses controlling harus dikikis habis dan pengawasan tidak hanya sekedar alat administrasi di atas kertas. Setelah budaya-budaya tersebut dapat dikikis habis, dapat dilanjutkan dengan meningkatkan budaya efisien, efektif, disiplin dan berdedikasi yang tinggi dalam bekerja serta memupuk budaya malu dalam segala tindakan yang merugikan orang banyak.
5.      Evaluating (Penilaian)
Definisinya adalah proses pengukuran dan perbandingan hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Sebagai bagian dari
suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi, penilaian merupakan suatu fase tertentu dalam satu proses setelah fase itu seluruhnya selesai dikerjakan yang bersifat korektif terhadap fase sebelumnya. Dengan penilaian yang benar ini jika ada penyimpangan-penyimpangan dan atau penyelewengan-penyelewengan akan mudah dideteksi. Tetapi di era orde baru laporan-laporan yang diharapkan menjadi bentuk visualisasi kegiatan malah kadang-kadang dimanipulasi atau di mark up. Tentunya di pasca reformasi ini moral untuk bermain-main dengan laporan harus dibabat. Kalau perlu laporan-laporan tersebut dikaji ulang kembali, guna pelurusan administrasi dan pelurusan sejarah.
IV.     PENDAYAGUNAAN ADMINISTRASI NEGARA
Administrasi negara sebagai bagian dari ilmu administrasi mempunyai beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembahasan peranan dan pendayagunaannya.Adapun faktor-faktor tersebut menurut SONDANG P. SIAGIAN (3) adalah :
1.      Faktor tujuan
Administrasi negara bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat karena terlepas dari sistem politik dan perekonomian yang dianut oleh sesuatu negara.
2.      Faktor motif
Administrasi negara dalam proses pelaksanaan kegiatannya bermotifkan pemberian service yang seefisien, seekonomis dan seefektif mungkin kepada setiap warga negara yang harus dilayaninya.
3.      Sifat Pelayanannya
Administrasi negara yang juga berarti aparatur pemerintah berkewajiban melayani semua warga negara dengan perlakuan yang sama karena warga negara itu di mata hukum berkedudukan sama. Sehingga di abad modern ini pemerintah beserta seluruh personalia aparatnya adalah abdi dari rakyat.
4.      Wilayah Yuridiksi
Administrasi negara mempunyai wilayah kekuasaan yang sama luasnya dengan wilayah kekuasaan negara
5.      Kekuasaan
Administrasi negara memperoleh kekuasaannya dari rakyat melalui lembaga perwakilan. Karena di negara yang modern negara berada dalam kedaulatan rakyat.
6.      Orientasi politik
Administrasi negara beserta seluruh aparat pemerintahnya harus bersifat netral. Tidak berpihak pada satu kelompok atau golongan tertentu
7.      Cara kerja
Jalannya proses administrasi negara sedikit agak lambat, karena adanya pendekatan legalitas.
Dari ketujuh faktor-faktor di atas, di era orde baru nampak banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Sehingga harapan dari seluruh bangsa Indonesia dan cita-cita pendiri Republik ini belum terwujud. Oleh karena itu, di era pasca reformasi ini faktor-faktor tersebut perlu dikaji ulang dan diperbaiki.
Sesuai dengan tujuan administrasi negara yang mulia dan sesuai dengan tujuan bangsa kita tentunya akan menghasilkan bangsa yang “gemah ripah loh jinawi” tetapi dalam kenyataannya saat ini hal itu belum terwujudkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Kemakmuran hanya nampak pada segelintir orang golongan saja. Apakah ada yang salah dalam implementasi faktor-faktor tersebut atau tidak berjalannya sistem yang ada. Dari kacamata penulis memang nampak ada kelemahan dalam implementasi administrasi negara yang berjalan selama 32 tahun, antara lain:
Ø  Motif pemberian service dari aparatur negara kepada masyarakat belum tulus 100 % dan motif tersebut kadang-kadang bergantung faktor-faktor lain yang berbau kolusi dan koncoisme
Ø  Inefisiensi pada proses penyelenggaraan negara besar sekali. Hal inilah yang menjadi “warning” World Bank dalam memberikan bantuan di masa-masa yang akan datang.
Ø  Pelayanan dari aparat negara masih banyak yang memperlakukan rakyat biasa, lain dengan masyarakat berpunya / terpandang / berpangkat.
Selain ketiga hal temuan penulis di atas, tentunya masih banyak hal-hal lain
yang menjadi penyebab timbulnya krisis moneter dan terpuruknya ekonomi kita ini. Sehingga menyebabkan cita-cita pendiri republik ini belum terwujud. Ketiga bentuk ketidakbenaran diatas ternyata banyak diakibatkan oleh kurang baiknya SDM (Sumber Daya Manusia) dari aparatur negara tercinta ini. Dengan ditemukannya salah satu penyakit dari kondisi kita saat ini yaitu SDM yang kurang seperti yang diharapkan tentunya perlu upaya-upaya perbaikan yaitu dengan melaksanakan kegiatan pendayagunaan aparatur pemerintah berupa peningkatan kualitas dan penyempurnaan seluruh unsur sistem aparatur pemerintahan di pusat dan di daerah dan dalam hubungan pusat dengan daerah termasuk BUMN dan BUMD, perwakilan-perwakilan di luar negeri.
Usaha-usaha pendayagunaan aparatur negara dapat dilaksanakan dengan usaha-usaha pembinaan, penyempurnaan dan penertiban dalam keseluruhan aspek administrasi negara yang mencakup kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian dan sarana serta prasarana kerja yang dilakukan baik di pusat maupun di daerah yang meliputi juga BUMN dan BUMD. Dengan telah didayagunakannya seluruh komponen aparatur negara maka akan dihasilkan suatu proses peningkatan kemampuan dalam merencanakan,mengendalikan pelaksanaan dan mengawasi serta menilai perkembangan pelaksanaan berbagai kebijaksanaan dan memecahkan masalah-masalah pelaksanaan kebijaksanaan, rencana, program dan proyek pembangunan.
Akhirnya sebagai bagian yang penting dari pendayagunaan aparatur pemerintahan adalah langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi termasuk dalam hal ini adalah penyempurnaan kebijakan ekonomi, politik dan hukum guna tercapainya pembangunan yang kita cita-citakan bersama.
V.        PENUTUP
Di era modern atau era globalisasi ini ilmu administrasi sebagai “artistic science” secara universal tetap memegang peranan yang menentukan dalam meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat dan bangsa.
Hal ini sesuai dengan kaidahnya yaitu : ilmu administrasi itu termasuk kelompok “applied science” daripada ilmu-ilmu sosial karena kemanfaatannya hanya ada apabila prinsip-prinsip, rumus-rumus dan dalil-dalilnya diterapkan untuk meningkatkan peri kehidupan manusia.
Administrasi sebagai alat dari suatu sistem negara selama orde baru, saat ini perlu dikaji kembali secara ilmiah. Baik fokus dan akselerasinya maupun implementasinya guna dapat mengembalikan cita-cita awal pendiri republik kita ini yaitu pembangunan untuk kemakmuran rakyat. Kajian-kajian seperti ini tentunya bukan tanggung jawab seluruh komponen bangsa dengan ujung tombaknya para ahli bidang ilmu administrasi termasuk kita semua ini.
Dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan pada fungsi administrasi dan manajemen yang telah berlalu, maka di orde pasca reformasi ini fungsi-fungsi tersebut perlu diluruskan. Pelurusan fungsi menurut ilmu administrasi juga menjadi tugas kita sebagai insan yang bergelut dengan ilmu administrasi, sehingga kita di era pasca reformasi ini dapat berperan lebih, baik sebagai pemikir, pelaku dan pengguna ilmu administrasi. Ini adalah prospek yang menjanjikan bagi ilmu administrasi  baik sekarang maupun dimasa-masa yang akan datang.
Saya kira, kita semua berkepentingan terhadap tumbuhnya administrasi negara yang efisien, efektif, responsibel dan responsive. Adalah merupakan tanggung jawab dari semua pihak untuk dapat tumbuhnya administrasi negara yang ideal tersebut. Untuk itu marilah kita ciptakan administrasi yang jujur, cakap dan bertanggung jawab, sehingga para sarjana administrasi dapat ikut memperbaiki administrasi negar kita dan harus mampu memecahkan administrasi publik kita, bukan menjadi bagian dari masalah administrasi itu sendiri yang dalam bahasa inggrisnya adalah “ We must solve the problem and not to be a part of the problem”.
Berhasilnya pembangunan nasional yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan pendiri Republik tercinta ini tergantung dari partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekad dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara negara.
Semoga uraian saya yang sangat sederhana ini dapat memberikan sumbang sih yang positif bagi pengembangan Ilmu Administrasi dan bagi kita semua.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb 

Yogyakarta, Okt 2008


Penulis,




KPH. H. Anglingkusumo
Daftar Acuan :
1)      K. Sindhunata, SH, “Pokok-pokok Pembahasan Kesatuan Dan Persatuan Bangsa Sebagai Landasan Bersama Gerakan Reformasi” semiloka KAGAMA Yogyakarta 12-13 Agustus 1998
2)      Prof. Selo Sumardjan, Presentasi pada Semiloka KAGAMA Yogyakarta 12-13 Agustus 1998
3)      Prof. Sondang P. Siagian, “Filsafat Administrasi”, PT Toko Gunung Agung, Jakarta 1997
4)      Tim LAN, “SANRI I & II”, PT Toko Gunung Agung, Jakarta 1996