Oleh: KPH.H. Anglingkusumo
Manusia
sebagai hamba ciptaan Tuhan sudah punya cakra sangkala sendiri – sendiri dan
tapak tilasnya sudah tersurat pada telapak tangannya . Tetapi manusia juga
diberi hak untuk merubah suratan tersebut dengan usaha dan doa, sesuai dengan
kemampuan. Sehingga manusia perlu suatu cita – cita guna mencapai suatu takaran
takdir yang maksimal. Untuk mencapai cita – cita tersebut, manusia perlu
melakukan “ laku prihatin “ . Sebab jika hal itu dilakukan akan mengurangi
gejolak hawa nafsu dan dapat terendap jiwanya. Jiwa yang telah terendap akan
mewujudkan :
- Pribadi yang selalu dekat dengan Tuhannya, sehingga pribadi tersebut akan selalu diberikan anugerah dan hidayahNya berupa sifat – sifat selalu memperoleh petunjuk Nya yang perwujudannya kadang – kadang berupa daya yang lebih atau kewaskitaan.
- Olah pikir yang terwujud secara baik dan seimang antara logika, perasaan dan kemauan dalam mengelola cipta, rasa dan karsa.
- Budi pekerti yang luhur serta sempurna penghayatan rohani dan jasmaninya.
Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan
dengan segala kodrat dan ketidak sempurnaannya tentunya akan berusaha dalam
hidupnya sesuai dengan cita – citanya. Setelah laku prihatin dan usaha dalam
berkarya dilaksanakan dengan baik dan tercapai jua cita – citanya, manusia biasanya
mulai lupa dengan asal – usul dan jati dirinya. Kadang – kadang lupa pula
dengan Tuhannya. Yang ada hanya pengumbaran hawa nafsu untuk selalu
mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia tanpa peduli dengan lingkungan
maupun orang lain.
Kalau ditarik dari pelajaran tersebut,
ternyata mirip dengan kondisi yang terjadi pada keadaan kita saat ini. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang terjajah sejak lama
telah mendapatkan kemerdekaan dengan susah
payah dan penuh perjuangan dengan segala pengorbanan baik harta maupun nyawa.
Masa – masa sebelum kemerdekaan adalah masa – masa prihatin bagi bangsa kita
ini. Setelah laku prihatin tersebut dan usaha dalam karya pada masa – masa
setelah kemerdekaan dan dilanjutkan pada masa pembangunan, ternyata pada suatu
masa tertentu ada pemimpin – pemimpin kita telah lupa dengan amanat
kemerdekaan. Mereka hanya memikirkan tentang bagaimana menumpuk harta sebanyak
– banyaknya, bagaimana caranya kedudukan dan jabatan dapat langgeng serta
bagaimana caranya agar orang lain selalu tunduk pada pemimpin tersebut.
Sesuai dengan ramalan – ramalan leluhur
kita, kalau para pemimpin sudah berperilaku demikian dan tidak memperdulikan
rakyatnya, maka rakyat akan berani mengatakan ” tidak ” dan akan
berunjuk rasa menuntut keadilan. Inilah yang terjadi pada era reformasi ini.
Tetapi alam reformasi ini belum dapat mengikis keserakahan dan laku tamak para
pemimpin bangsa ini. Oleh karena itu agar ketamakan dan keserakahan dapat
dihentikan, maka kita semua termasuk para pemimpin bangsa perlu menengok
sejenak ajaran leluhur dari Paku Alam I dan dapat menjadikan ajaran tersebut
sebagai salah satu bahan renungan dan tuntunan. Sebab jika tidak, kami
kwatir dengan ramalan tentang munculnya jaman edan dan jaman edan tesebut kapan
munculnya. Ada ramalan yang mengatakan bahwa di akhir abad 20 dan awal abad 21
adalah tahun ” goro – goro ” di mana gamelan berbunyi mulai ” patet sanga ”.
Ini sebagai tanda dari munculnya keganasan dan kesadisan manusia. Hal ini telah
terbukti di negeri kita yang tercinta ini, misalnya : peristiwa Aceh, Irian
Jaya, Maluku, Sambas, Jawa Timur dan masih ada yang lain dengan peristiwa
Sampit dan Palangkaraya.
Seluruh komponen bangsa terutama para
pemimpinnya tentunya sekarang belum terlambat untuk mempebaiki diri, jika masih
mau menegok dan mengamalkan ajaran para leluhur kita ( Paku Alam I ) ini.
Beberapa ajaran tersebut masih tampak tertulis dengan jelas :
- Di Regol ( pintu gerbang masuk Puro Pakualaman ) yang bertuliskan ” Wiwara Kusuma Winayang Reka ” ( dalam huruf jawa ) dimana Wiworo berarti pintu atau terbuka, Kusumo berari budi luhur, Winayang berarti sasmita dan Reka berarti pola pikir, sehingga arti secara keseluruhan dari tulisan tersebut adalah orang yang berbudi luhur niscaya akan selalu terbuka dan berpola pikir bijaksana. Dalam hal ini dapat pula menjadi bahan renungan bagi orang yang akan masuk pintu gerbang Puro tersebut. Apakah sudah berpikir jernih serta berlaku bijaksana.
- Di Samping kaca pengilon ( cermin ) yang dipasang di tembok dalam pintu gerbang tersebut bertuliskan ” Guna Titi Purun ” dan ” Engeta Angga Pribadi ”. Kalau kata – kata tersebut diuraikan satu persatu maka dapat menjadi tuntunan yang baik dalam mengarungi bahtera kehidupan ini , yaitu :
v Guna artinya bermanfaat.
Sehingga bagi orang yang
berilmu harus memanfaatkan ilmunya untuk kesejahteraan dan kemajuan umat
manusia. Sedangkan orang yang berharta dan memanfaatkan hartanya untuk
kemakmuran umat manusia dan orang yang tinggi pangkatnya dapat menjadi pengayom
dan panutan para kawulanya.( ING NGARSO SUNG TULODO )
v Titi artinya jujur, lebih dan mengerti. Jadi
bener – benar menguasai pokok persoalan.
Kata Titi tersebut jika
dilengkapai akan menjadi ” Gemi Satiti Nastiti Ngati – ati ” akan
lebih bermakna lagi. Adapun arti kata Gemi adalah hemat atau dapat menampung,
sedangkan Satiti / Nastiti berarti titis / tepat, berhasil akan karya dan ngati
– ati artinya berhati – hati, sehingga arti secara umum adalah segala laku dan
perbuatan manusia harus selalu memikirkan akibatnya. Sebagai pemimpin yang
menjadi panutan rakyatnya tentunya dituntut dapat berbuat lebih dengan
melengkapi tuntunan lainya , yaitu : ” Luruh Lereh Lirih ” sebagai
sarana dan tindak – tanduknya. Dalam hal ini luruh berarti tangkas bersemangat
tetapi lemah lembut, lereh berarti sabar dan selalu siap menjalankan tugas
dengan jujur dan mantap, sedangkan lirih berarti bertugas dengan perhitungan tepat, tidak
terlalu tergesa – gesa. Dengan meresapi tuntunan ini, maka pemimpin yang
mendapat amanah dari bangsa dan negara akan selalu bersahaja, tidak perlu
menonjolkan kelebihannya. Cukup dengan tunduk dan tenang seperti ilmu padi. Hal
ini tidak akan mengurangi martabatnya, bahkan akan kelihatan halus tutur
katanya dan luhur budinya. Bagi seorang pemimpin, motto tersebut akan lebih
sempurna lagi jika ditambah dengan ” Ruh
Raras Hangresepake ”, yang artinya adalah sebagai pemimpin yang tangkas
bersemangat dan harmonisasi yang pas serta simpatik.
v Purun artinya berani, mau melakukan dan
sanggup.
Ini adalah suatu sifat
ksatria. Sehingga seorang pemimpin itu perlu berjiwa ksatria, yaitu :
berani untuk berperilaku baik, menjahui perbuatan kotor, berani mengedepankan
keadilan, dapat menjadi contoh orang lain akan tingkah lakunya, berani meminta
maaf jka melakukan kesalahan dan sanggup memperbaikinya, sanggup mengorbankan
segala – galanya, ikhlas lahir batin dan bekerja dengan penuh tanggung jawab.
Adapun tuntunan lain dari ksatria adalah ‘ Yen Saguh Kreket Galar Arep
Dilakoni ‘
Yang artinya adalah bila
sanggup harus konsekuen, kalau perlu nyawalah taruhannya. Tetapi ada tuntunan
lain yaitu ‘ Saguh Tanpa Raga ‘ yang artinya sanggupnya hanya di mulut, tetapi
tidak dalam tindakan dan ini harus dijahui oleh sifat kstria. Sehingga jika
seorang pemimpin berkarakter demikian , maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
v Engeta Angga Pribadi
Kalimat ini mempunyai daya
magis dan kesakralan yang tinggi, sehingga awalnya penulis tidak berani
menerangkan makna dari kalimat tersebut. Tetapi berhubung kami sebagai salah
satu keturunan Paku Alam I, maka kami terpanggil untuk mencoba menguraikan
makna kalimat tersebut. Artinya adalah selalu ingat akan diri pribadi, bahwa
manusia adalah ciptaan dan hamba Tuhan. Sehingga betapa hebatnya, betapa
kayanya dan betapa tinggi pangkatnya tetap harus tidal lupa dengan Sang
PenciptaNya. Sebagai seorang pemimpin perlu meresapi makna kalimat tersebut
ditambah dengan tuntunan lainya, yaitu : ‘ Salah Leno Apes ‘ yang
artinya manusia itu akan selalu mudah tergoda dan mungkin tidak dapat mengelak
sesuai dengan suratan takdirnya, oleh karena itu manusia harus selalu ingat
akan Sang Pencipta dan selalu harus mohon perlindunganNya kapan saja setiap
saat. Dalam konteks ini tuntunan akan lebih sempurna jika di tambah tuntunan
lainya yaitu ‘ Ojo Dumeh ‘ , yaitu jangan takabur, jangan merasa dirinya lebih
/ paling benar dan jangan mudah menyalahkan orang lain serta menghinanya. Pada
jaman dahulu tulisan tersebut banyak tertulis diatas genting rumah – rumah.
Ajaran tersebut ternyata dalam ajaran agama islam juga muncul dalam sebuah
nasehat dari Luqman Al Hakim kepada anaknya, yaitu : ‘ Wahai anakku,
sesungguhnya dunia ini ibarat lautan yang dalam sudah banyak manusia tenggelam
di dalamnya. Jadikanlah bahteramu adalah ketaqwaan kepada Alloh, muatanmu
adalah keimanan dan layarmu adalah tawakal dan kesabaran. Agar kamu selamat di
dunia dan akherat, meskipun aku tidak yakin bahwa kamu pasti akan selamat ‘.
Dari tuntunan yang tertulis
disamping kaca pengilon yang terletak di Regor (pintu gerbang ) masuk Puro
Pakualaman yang tertulis dala huruf jawa yang berbunyi ‘ Engeto Anggo Pribadi ‘
dan ‘ Guno Titi Purun ‘ dapat dirangkum menjadi satu kata yaitu ‘ Mulatsalira ‘
atau dengan bahasa yang populer INTROSPEKSI yang maksudnya adalah jika jari
kita menunjuk kepada seseorang , maka yang ketiga akan mengarah pada diri kita
sendiri. Sehingga makna yang sakral ini perlu menjadi cermin kita semua dan
terutama para pemimpin bangsa ini di alam Reformasi.
Kajian – kajian dari ajaran ( Paku Alam I
) diatas, dalam era sekarang ini apabila kita rangkum kembali semua, akan
terpulang kepada hati nurani kita masing – masing HATI BAGAIKAN RAJA, sehingga
manusia bisa melakukan apa saja , baik ataupun buruk berdasarkan kata hati.(
sesuai kata hati )
Karena itu masalah terbesar bagi bangsa
kita adalah masalah HATI NURANINYA yang sudah tidak hidup
sebagian atau hatinya terkena penyakit, sudah barang tentu orang yang hatinya
berpenyakit tidak dapat membedakan yang baik dan yang buruk dan ia pasti licik.
Noda terbesar pada setiap manusia adalah KEGELAPAN
BATHIN, dan mereka akan sulit sekali melihat, apalagi menerima PERUBAHAN,
padahal perubahan merupakan sifat yang UNIVERSAL,yang tidak dapat di
pungkiri dan dihentikan. Walaupun TUHAN sudah menampakan diri di bumi
ini. Manakala kegelapan bathin atau kebodohon sudah menjelma menjadi
keserakahan, justru akan sulit untuk melihat, atau menerima perubahan.
‘ KESERAKAHAN ALERGI MELIHAT PERUBAHAN ‘
tugasnya terlebih manakala perubahan tersebut adalah hal2 yang dapat
menimbulkan kenikmatan dan keserakahan yang sudah menguasai batin sesorang,
maka akan menimbulkan penderitaan yang luar biasa.
Datangnya keserakahan ini halus dan
nggeremet ( perlahan) tidak jlong,jlong, jlong….. kalau keserakahan datangnya
dengan sangat kentara dan mengakibatkan penderitaan , tentu masyarakat akan
ketakutan mendekati. Kadang keserakahan datangnya dengan menunggu berbagai
fasilitas, kedudukan, jabatan, intelektual, maupun lain – lainnya. Hal ini
justru membahayakan banyak orang hendakya disadarai bahwa krisis yang terjadi
saat ini, bermula dari persolan moneter telah berkembang menjadi krisis ekonomi
dan politik, dan semuanya berakar dari krisis akhlak ( moral ) yang seharusnya
di teladankan oleh mereka yang seharusnya menjadi anutan masyarakat.
Maka dari itu bukan hal yang mustahil,
pada saat ini masih banyak orang yang melakukan KORUPSI, KEKEJAMAN,
KEKEJIAN, KEDZALIMAN , KELICIKAN dan sebagainya dan untuk membrantasnya sudah
barang tentu tidaklah semudah seperti membalik telapak tangan.
Sebab itu marilah ajaran – ajaran para
leluhur seperti ajaran dari pada KGPAA PAKU ALAM I ini kita jadikan
salah satu pola pikir dalam hidup ini, untuk itu hendaknya dalam kehidupan ini
kita selalu berpikir secara jernih dengan akal sehat , tidak melawan hati
nurani, dan tidak emosional seperti halnya sebuah pepetah ( jawa ) yang
mengatakan : OJO WATON TUMINDAK, TUMINDAKO NGANGGO WATON artinya ‘ jangan asal bertindak , bertindaklah
dengan tuntunan’. Tuntunan
siapa dengan sendirinya tuntunan ALLOH SWT ( Tuhan Yang Maha Kuasa ). Sehingga
dengan pola pikir seperti ini , kita sebagai manusia dapat menjadikan tersebut
sebagai pilihan untuk menuju kesempurnaan pilihan dari pada ALLOH SWT, sesuai
dengan platform awal dibuatnya manusia sebagai makhluk yang sempurna , berakal
budi luhur dan membawa kebahagian untuk semua umatNYA.
Marilah
kita gunakan akal sehat kita seperti kata pepatah ’’ Tidak ada yang lebih baik
dari pada akal yang diperindah dengan ilmu dan ilmu yang diperindahdengan
kebenaran ( Shidiq ) dan kebenaran yang diperindah dengan kebaikan dan kebaikan
yang diperindah dengan Taqwa’’
Semoga uraian yang sederhana ini, dapat menambah wawasan dan
dapat berguna bagi kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar